Psikologi dan Korupsi
Oleh: Sheida Rumai Halida
Edisi artikel
desember ini, akan membahas mengenai Psikologi dan Korupsi. Adakah hubungan
antara psikologi dengan korupsi? Bagaimanakah psikologi menjelaskan perilaku korupsi?
Ya, pada kenyataannya korupsi lebih merupakan sebuah attitude/ perilaku, dimana
perilaku itu sendiri merupakan fokus utama dalam psikologi. Terdapat beberapa
kajian perilaku korupsi dalam psikologi baik dari sudut pandang psikologi
perkembangan, teori-teori kriminologi, maupun psikologi forensik. Pada
pembahasan edisi ini akan membahas dua pandangan psikologi terkait perilaku
korupsi, yaitu sudut pandang psikologi perkembangan dan teori kriminologi.
Corruption (Inggris); Corruptie
(Belanda); Corruptio (Latin);
yang berarti suat hal buruk, busuk, rusak, atau memutar balik. Korupsi dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu penyelewengan atau penyalahgunaan uang
Negara (perusahaan dsb) untuk keuntngan pribadi atau orang lain;--waktu
penggunaan waktu dinas (bekerja) untuk urusan pribadi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa korupsi berkenaan dengan perilaku menyimpang dari nila-nilai
kemasyarakatan. Dalam psikologi perkembangan, yang menjadi prinsip utama adalah
optimasi perkembangan psikologis individu sesuai periodenya (Monks, 1981). Dalam hal ini perilaku korupsi sangat terkait
dengan apakah perkembangan psikologis berjalan optimal sesuai dengan
perkembangan usia seseorang? Menelaah
perilaku korupsi melalui sudut pandang psikologi, merupakan interaksi aspek
moral dalam diri dan interaksinya dengan lingkungan sosial menyangkut moral
yang dialaminya. Ada pernyataan menarik dari seorang filsuf, Aristoteles, “pembentukan
moral individu membutuhkan waktu yang panjang karena moral berkembang sepanjang
rentang usianya. Dibutuhkan waktu yang panjang agar nilai-nilai menjadi
kebaikan dan membentuk kesadaran intelektual, sehingga individu selalu berpikir
dan merasakan nilai-nilai tersebut. kemudian menjadi keyakinan kuat, yaitu
keteguhan untuk mewujudkan perilaku baik (positif) dilingkungannya, walaupun
ada tekanan dan kesempatan untuk bertindak sebaliknya (negatif)”. Dari
pandangan-pandangan tersebut menunjukkan adanya suatu proses pembentukan nilai
yang belum cukup dipahami sehingga memunculkan perilaku menyimpang. Penanggulangan
perilaku korupsi melalui sudut pandang psikologi perkembangan adalah
mengoptimalkan aspek moral individu sepanjang rentang kehidupan individu dengan
menyediakan lingkungan tempat interaksi yang mengandung nilai-nilai baik dan
menjaga kesadaran individu, walaupun ada tekanan dan kesempatan untuk melakukan
perilaku korupsi.
Setelah menilik perilaku korupsi
melalui sudut pandang psikologi perkembangan, kemudian akan dijabarkan pula
pandangan dari sudut kriminologi. Apa sebetulnya yang menjadikan seseorang
melakukan korupsi? Beberapa teori kriminologi mampu menjelaskan faktor-faktor
yang mendorong seseorang melakukan perilaku korupsi. Dalam teori Pengendalian
Delinkuensi oleh Hirschi (1969), yaitu tentang orang yang sejak muda tidak
melakukan penyimpangan. Itu diakibatkan keterikatan (attachment) dengan orang
lain menyebabkan mampu mengendalikan diri. Penjelasan teori ini yaitu orang
yang korupsi adalah orang yang tidak menganggap bahwa perbuatannya akan
mempermalukan orang tua atau keluarga besarnya. Orang tua atau keluarga besarnya
tidak mengikat dirinya untuk tidak melanggar hukum. Selanjutnya adalah Teori
Kontrol oleh Williams (1992), menjelaskan bahwa sebagian besar hidup kita
dihabiskan untuk mempelajari hal-hal apa yang diperbolehkan dan yang tidak
untuk dilakukan. Individu dengan begitu dipersuasi untuk hidup dalam aturan.
Koruptor dengan demikian adalah mereka yang belum/tidak cukup belajar tentang
hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga merasa nyaman saja saat
melanggar aturan. Teori Konsep Diri oleh Reckless (1973) menerangkan tentang
diri dengan konsep diri yang kuat adalah yang mampu mengakomodasi nilai-nilai
yang disepakati, sehingga paling baik kuat membentengi diri dari dorongan dan
tarikan berbuat kejahatan. Koruptor adalah orang dengan konsep diri lemah yang,
oleh karenanya, mudah saja diajak bebuat korupsi. Ketiga teori yang telah
dijabarkan menunjukkan peran penting proses pembelajaran dalam lingkungan
keluarga, dimana melalui hal tersebut membentuk suatu nilai dan konsep diri
seseorang. Hilangnya peranan itu memicu kemungkinan besar seseorang melakukan
perilaku korupsi. Selain ketiga teori diatas, ada pula Teori Konflik “Budaya”
oleh Vold yang melihat bahwa kejahatan tidak terlalu terkait dengan siapa yang
benar atau salah, tetapi siapa yang akhirnya memenangkannya. Terdapat sejumlah
kejahatan yang dapat ‘dibenarkan’ guna mencapai perubahan tertentu. Korupsi
dengan demikian, sesuatu yang politis, demikian pula pengungkapannya.
Pengungkapan kasus korupsi tertentu memiliki latar belakang dan tujuan, demikian
pula jika ada kasus yang tidak terungkap/diungkap. Teori ini menggambarkan
situasi peperangan bahwa yang kalah dalam perang adalah yang jahat, begitu pula
sebaliknya. Tidak kalah mengejutkannya teori satu ini menjelaskan perilaku
korupsi yaitu Teori Imitasi oleh Tarde (1912), menerangkan bahwa orang itu
meniru orang lain. Awalnya, kejahatan ditiru sebagai gaya, lama-lama menjadi
terbiasa. Khususnya orang strata bawah meniru strata atas. Dengan begitu, korupsi adalah perilaku yang ditiru.
Anak buah meniru atasan, yang sebenarnya meniru atasan yang lebih tinggi lagi.
Seperti halnya di rumah, anak meniru yang dilakukan orang tuanya.
Memastikan
tindakan kita, juga lingkungan kita, bersih dari perilaku korupsi akan membuat
kita semakin memahami bahwa ternyata bersih bukan hanya tidak adanya sampah
yang terlihat dimata kita, namun bersih juga apa yang terasa di hati kita.
Semoga bermanfaat.
1 comments
waw mwnarik. ada artikel tentang psikologi militer ga?
ReplyDelete